Judul: Langit Masih Gemuruh Sutradara: Jason Iskandar Penulis skenario: Jason Iskandar Pemain: Indira Handawi, Teresa Handawi, Roselina Lie Tahun: 2015 Durasi: 10 menit
Reformasi Mei 1998 menjadi sejarah panjang bagi Indonesia. Di balik reformasi, ada peristiwa berdarah bagi etnis Tionghoa-Indonesia. Langit Masih Gemuruh mengisahkan seorang ibu dan anak yang sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah. Sang ibu tampak tegang saat mengendarai sepedanya dengan membawa putri kecilnya. Ia terlihat berusaha mencari jalan pulang yang aman dengan mengambil jalan memutar.
Lalu anak itu menunjuk si Apin. Bocah itu berambut lurus dan punya potongan poni ala Mail Upin Ipin. Jujur, mukanya imut. Dia punya pipi yang tembem, orangnya enggak kalem sih, tapi pokoknya dia lucu.
Alhasil, setelah di-poyoki temannya dengan ejekan dan kesimpulan yang seharusnya dapat dipertanggungjawabkan: “Apin seneng karo Khansa!”, mereka berdua ribut khas anak kecil. Aku tahu itu cuma bercanda aja. Tapi setelah itu, aku masih sering di-poyoki anak-anak TPA kalau Apin suka denganku.
Wakut itu aku masih kelas 3 SD. Aku kembali ke Jogja setelah setahun lamanya aku tinggal di Klaten. Di desaku yang baru, aku mengaji di masjid desa. Dari situ aku punya banyak teman. Aku tidak tahu siapa yang memulai, tapi dari situ ejekan perkara jodoh-jodohan dimulai.
Saat Ramadan adalah saat-saat yang membahagiakan buatku. Selain dapat takjil dan salat tarawih, intensitasku bermain dengan teman-teman yang lain sering. Aku jadi sering ketemu Mbak Ima, Mbak Kiki, dan Mbak Wiwit. Kita bertiga sering sekali main bersama, jalan-jalan selepas salat subuh, dan tarawih bareng.
Kalau diingat-ingat, dahulu aku sering nontonin anak-anak “tawuran” antar desa. Mereka tawur pakai petasan. Apesnya, kalau sedang lewat, kita sering kena sasaran anak-anak tawuran. Kaki kena petasanlah, atau rukuh ditariklah, untungnya enggak sakit. Pernah ada kejadian aku hendak dilempar petasan, si Apin tiba-tiba nyamper dan bilang, “Minggir!” Sok bergaya mau nolongin.
Lalu, waktu salat tarawih juga waktu yang menyenangkan. Motivasi pertamaku ketemu Apin. Kalau di masjid, teman-teman bisa saling menggoda kita berdua. Pernah teman-teman ngaji lempar-lemparan gelangku dan ditangkap Apin. Eh, disembunyiin olehnya. Kalau diingat-ingat lagi, rasanya malu dan senang. Karena sering ribut, kita tak jarang dicubit dan dimarahin oleh tetangga.
Tarawih juga jadi kesempatanku buat dekat sama adiknya Apin. Kebetulan adiknya perempuan, dan dia senang bermain denganku. Yah, begitulah. Eh, jangan kasih tau Apin ya. Kita masih sering ejek-ejekan dan salting (atau aku sendiri ya yang salting?) kalau ketemu saat ngaji dulu. Kalau diingat-ingat lagi, rasanya malu tapi senang. Ada kebahagiaan kecil karena rasa suka yang sederhana dan mungil ini.
Aku lupa tepatnya kapan, kalau tidak salah saat dia kelas 6 SD, Apin pindah. Aku jadi tidak pernah bertemu dia lagi dan aku juga sudah pindah TPA di masjid desa sebelah. Ramadan menjadi hal-hal menyenangkan buat anak-anak yang suka cinta-cintaan monyet begitu. Yang pasti, kita tidak pernah saling tukar nomor telepon. Entah karena apa, yang pasti saat itu aku memang suka saja dengannya, tapi itu sudah cukup buatku.
Mulanya, sebar-sebar pdf buku gratis saya kira prank macam #untiltomorrow. Tentu saya enggak mau ikutan jawab “Mau” atau resopon apapun. Ternyata bukan. Itu murni pembajakan buku komersial. Katanya, sih, buat nganu #DiRumahSaja. Sebelumnya saya memang enggak konfirmasi lebih lanjut soal tren itu.
Setiap kali hujan deras muncul, suaranya seperti lengkingan langit yang marah. Hujan deras itu membasahi jalanan, gedung-gedung tinggi, dan apapun yang bediri dan berlalu lalang. Tak lama kemudian bau hujan menguar, baunya seperti klorofin. Dari balik derai-derai hujan, bulan melongok perlahan-lahan, menelan kota yang remuk redam.
Kim Ji-young lahir pada 1982. Saya lahir pada 1998. Persamaannya adalah kami perempuan dan terjebak dalam lingkungan patriarkis. Patriarki lahir di mana saja dan dapat menjangkiti siapa saja. Ia hadir untuk menghancurkan perempuan. Ah, karena menjangkiti siapa saja, tentu patriarki tidak mengenal gender. Laki-laki pun turut dihancurkan olehnya secara perlahan, seperti racun yang menggerogoti organ tubuh.